Rabu, Maret 12, 2008

Menggugat Uji Kompetensi Dokter


“Tidak adil…!!!” itulah kata yang terlontar dari seorang peserta uji kompetensi. “ Kita sudah cape cape kuliah, eh setelah lulus di uji pula” yang lainnya juga berkomentar.

Beberapa saat yang lalu, uji kompetensi dokter untuk kali kedua kembali dilaksanakan. Pesertanya adalah para dokter lulusan terakhir ditambah dengan para peserta uji komepetensi sebelumnya yang dinyatakan tidak lulus. Sesuai rencana, uji kompetensi ini berselang tiap tiga bulan.

Menurut konsep dasarnya, pelaksanaan uji kompetensi berpangkal dari amanah undang-undang praktik kedokteran (UUPK) yang mengaharuskan dokter untuk memiliki surat sertifikasi kompetensi dan selalu meningkatkan kemampuannya (mutu). Hal ini akan berujung pada konsep long life learning untuk seorang dokter. Tentunya, ketika ditinjau dari segi tujuannya maka ini merupakan hal yang sangat bagus. Tetapi, yang jadi masalah adalah ketika ditinjau dari segi praktiknya.

Pertanyaan mendasarnya adalah siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap barang yang baru keluar dari pabrik? Tentunya, pabrik bertanggung jawab seratus persen. Bahkan ada yang sampai memberikan garansi karena yakin barangnya berkualitas sehingga yakin tidak akan terjadi kerusakan. Pun seandainya ada barang yang rusak, maka pabrik berkewajiban memperbaiki barang tersebut. Barulah setelah itu disebar di pasar.
Ketika analogi ini kita bawa kepada dokter yang baru lulus dari institusi pendidikan, maka sewajarnyalah institusi yang bertanggung jawab penuh terhadap lulusannya ( produk). Institusi memiliki wewenang untuk meluluskan ataupun tidak. Karena institusi pendidikan adalah institusi resmi yang ditunjuk oleh Negara untuk melaksanakan pendidikan. Tentunya pendidikan yang bermutu. Karena, mustahil rasanya suatu institusi tidak bermutu bisa meluluskan sarjana yang bermutu.

Long life learning

Menurut peraturan yang berlaku, peserta uji kompetensi adalah semua dokter yang akan menurus surat izin praktik ( SIP ) kedokteran. Tanpa melihat sudah pernah memiliki ( perpanjangan ) ataukah belum ( baru ). Tetapi pada praktiknya, penekanan sepertinya diarahkan kepada dokter yang baru lulus dengan alasan untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi ( STR ). Hal ini menjadi ironis ketika di kaitkan dengan tujuan awal diberlakukannya uji kompetensi, yaitu konsep long life learning. Karena, dokter yang baru lulus adalah dokter yang baru saja menjalani proses pendidikan. Tentunya konsep long life lerning sangat mengena. Jadi kenapa harus di uji lagi.

Kompetensi

Ada pendapat yang mengatakan bahwa belum tentu orang yang baru lulus itu berkompeten. Sehingga harus dilakukan uji kompetensi. Ini seharusnya terjawab dengan pemberian ijazah oleh institusi pendidikan kepada peserta didiknya. Hal ini menandakan bahwa peserta didik telah memenuhi standar kompetensi dari institusi pendidikan. Dan institusi pendidikan adalah institusi resmi yang mendapat izin dari Dikti untuk menyelenggarakan pendidikan. Tidak terkecuali dengan fakultas kedokteran.
Sebagai penjaga mutu dari suatu institusi, pemerintah melalui departemen pendidikan telah membentuk badan akreditasi nasional. Yang bertugas untuk mengklasifikasi suatu institusi pendidikan berdasarkan hasil capaian yang telah dilakukan. Apakah kinerja badan ini telah dipertanyakan, sehingga pemerintah “tidak percaya” lagi terhadap hasil luaran suatu institusi pendidikan.

Selain itu, yang menjadikan hal ini ironis karena pelaksanaannya setelah seseorang keluar dari institusi pendidikan. Ini mengandung arti institusi pendidikan seolah-olah “cuci tangan” terhadap peserta didiknya. Dan ini berarti bahwa ijazah yang diberikan tidak memiliki arti apa-apa. Selayaknya ujian bagi dokter yang baru lulus dilaksanakan sebelum sang dokter menerima ijazah. Karena ketika sang dokter tidak lulus ada tanggung jawab secara struktural untuk membimbing kembali. Tetapi ketika dilasanakan seperti sekarang ( setelah lulus ), maka tidak ada sama sekali tanggung jawab secara struktural, melainkan hanya secara moral sebagai orang yang pernah dididik.

Salah satu yang menjadi ketidak adilan dalam uji kompetensi ini adalah proses belajar yang dijalani dokter yang baru lulus selama enam tahun sebelumnya hanya dinilai dalam satu hari. Seandainya pada saat hari ujian dokter yang bersangkutan sakit ataukah ada hal hal yang tidak diduga terjadi sehingga mereka tidak bisa ikut uji kompetensi. Maka, sebagai akibatnya mereka tidak bisa menyelenggarakan praktik kedokteran ( bersentuhan dengan pasien ). Dan harus menunggu ujian kompetensi selanjutnya untuk kembali mengikuti ujian. Dan ketika menyelenggarakan praktik tanpa lulus uji kompetensi maka akan dianggap melakukan mal praktik ( UU praktik kedokteran pasal 29 ayat 1 dan 75 )

Solusi

Sebenarnya, untuk meningkatkan mutu dan penerapan konsep long life learning maka yang harus di standarisasi adalah institusi pendidikannya. Bukan hasil dari institusi tersebut. Karena kompetensi akan didapat dari proses yang terjadi selama pendidikan berlangsung.

Ketika kita percaya dengan sistem pendidikan kedokteran yang kita miliki sekarang mampu menghasilkan dokter yang bermutu, maka tidak seharusnya kita ragu dengan dokter yang kita miliki. Akhir-akhir ini banyak sekali institusi pendidikan membuka fakultas kedokteran tanpa mempertimbangkan aspek suprasturktur dan infrastruktur yang dimiliki. Alasannya lebih kepada keuntungan materi semata.

Ditahun 2004 tercatat terdapat sekitar 35 institusi yang memiliki fakultas kedokteran. Hanya dalam kurun waktu dua tahun( tahun 2006), meningkat menjadi lebih dari 55 institusi yang memiliki fakultas kedokteran. Dan masih banyak lagi institusi yang “ meng-antri “ untuk membuka fakultas kedokteran.

Jadi, jangan korbankan dokter yang baru lulus hanya karena proses pendidikan yang dianggap tidak bermutu. Tetapi kita harus membenahi langsung keakar permasalahan. Prinsipnya adalah institusi pendidikan kedokteran harus berkompeten, untuk mendidik calon dokter yang berkompeten. Dan jangan luluskan ( beri ijazah ) bagi dokter yang dianggap belum berkompeten.

Hanya dibutuhkan keberanian dari sang pengambil kebijakan dalam hal ini dinas departemen pendidikan dan institusi terkait untuk menggulangi masalah ini.

Apakah kita berani?

Selengkapnya »»